Tuesday, October 25, 2011

Roger Dubuis

Pagi ini saya memulai hari saya dengan mem-browshing jam tangan merk Roger Dubuis. Saya butuh tali jam baru karena yang lama sudah using dan perlu diganti. Saya sudah mengunjung i beberapa toko jam tangan tapi, tidak ada yang cocok. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mencarinya di internet.

Sebuah jam tangan lama saya hadiah dari papa saat saya menyelesaikan kuliah S-1 saya. Sebuah jam berbentuk persegi yang ukurannya cukup besar, dengan bertabur batu di sekelilingnya, bingkai emas, dan strap kulit berwarna hitam putih.

Saya masih ingat ekspresi saya saat itu, bukannya merasa senang tapi malah ogah-ogahan menerima jam tangan pemberian papa saya. Dalam hati saya berkata, “Duh papa nih, norak amat ya! Emangnya aku ibu-ibu,pasti papa belanja dengan teman-teman kantornya y ang ibu-ibu itu!”

Keesokan harinya, saya masih enggan memakai jam tangan itu Namun papa saya bertanya,” Kok nggak dipakai?” Merasa tidak enak saya memakai jam itu, namun setelah turun dari mobil dan berganti naik angkot diam-diam saya melepas jam tangan itu dan menyimpannya di dalam tas saya.

Pernah suatu hari saya lupa melepas jam itu dan masih memakainnya saat di angkot, saya merasa jam tangan itu menjadi pusat perhatian penumpang lainnya. Bahkan ada seorang laki-laki yang penampilannya lebih mirip copet karena selalu celingak-celinguk ke sana ke mari berkomentar, “Jam tangannya gede banget, De! Hehehe…” Saya kesal! Apalagi penumpang lainnya di angkot seperti mengiyakan pendapat laki-laki itu dengan tersenyum dan menatap aneh pada saya.

Bahkan di tempat saya bekerja saat itu, hampir semua orang mengomentari jamtangan saya. Reaksinya bermacam-macam, ada yang langsung mengamit lengan saya dan melihat jam saya sambil “ck..ck..ck…” Ada yang senyum-senyum, bahkan yang lebih ekstrim tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Ih jam lo aneh banget hahaha. Lo tau gak lo kayak inang-inang tukang tuker duit di terminal, mereka kan suka pake jam bapak-bapak. Apalagi emas hahahaha!”

Saya buru-buru melepas jam tangan saya dan menyembunyikannya di dalam tas. Hanya saja Nova, salah seorang rekan kerja saya melarangnya dan berkata, “Biarin aja, dia kagak tau mode. Liat aja bajunya, kemeja yang begitu mulu. Udah deh jangan didengerin pake lagi!”

Sejak saat itu saya tidak pernah lagi memakai jam tangan itu. Saya biarkan jam tangan itu teronggok di atas meja atau di dalam laci bersama tumpukan buku-buku saya. Meski kadang-kadang saya membutuhkan jam tangan itu karena jam yang biasa saya pakai batrainya habis, atau rusak saya selalu mengurungkan niat saya untuk memakai jam itu. Tak ada alasan bagi saya untuk memakai jam tangan itu, merknya saja Roger Dubuis. “Nama yang aneh bagi sebuah merek jam tangan”, piker saya waktu itu.

Saat ini saya sangat membutuhkan jam tangan sebagai penunjuk waktu mengajar saya. Kalau saja saya masih memiliki pilihan jam tangan lainnya untuk dipakai pasti saya tidak akan mau memakai jam tangan itu. Sayangnya, saya hanya punya dua jam tangan yang tersisa. Jam digital bermerk Speedo yang tali jamnya robek dan baterainya habis dan Jam tangan aneh bermerk Roger Dubuis. Saya memilih yang kedua karena jam itu kinetik dan tidak memerlukan batrai, meski saya tidak menyukainya.

Kalau saja saya dapat dengan mudah mencari tali jam tangan yang cocok untuk jam saya. Saya tidak akan pernah ­browshing di internet merk jam Roger Dubuis, sekaligus tahu bahwa jam yang saya miliki ternyata cukup berharga. Pantas saja papa selalu mengingatkan untuk memakai jam tangan itu.

Kadang-kadang kita selalu berlari mencari yang ada di luar sana tanpa mengetahui apa yang kita miliki ternyata lebih dari yang kita inginkan. Seandainya saya lebih terbuka, terhadap hal baru. Seandainya saya dapat lebih global dan tidak sempit mendengarkan opini di sekeliling saya. Seandainya saya lebih mendengar Nova yang berpikir positif, mungkin jam Roger Dubuis itu akan tetap bagus dan teraw at.

Saya akan berusaha mencari strap jam ini. Seandainya yang original terlalu mahal, mungkin saya akan mencari yang KW saja (hehehehe). Saya akan buat papa saya senang dengan memakai jam hadiah darinya. Satu hal penting yang saya pelajari, “Dari jam Roger Dubuis ini saya belajar,” ternyata saya terlalu sempit.

Terima kasih Papa.

Monday, March 02, 2009

malam, sahabatku

dan malam masih melukiskan keindahannya. Sama indahnya ketika kau mengguratkankan perrasaan cinta di hatiku. sama indahnya seperti malam disaat aku mulai jatuh hati kepadamu. ada bulan yang tersenyum manis di sana. ada bintang-bintang bertaburan yang berkelap-kelip mengirimkan jutaan pesan cinta ke seluruh dunia.

pun aku pernah menitipkan rindu dan rasa cintaku padamu lewat mereka. Saat malam-malamku dijerat perasaan rindu yang menyiksa, mereka sahabat setia yang tak pernah bosan menemaniku. kini saat semua perasaan itu seakan tak berarti mereka masih di sana menemaniku yang kini terjerat perasaan perih.


aku tau,

cukup tau

sangat tau dan mengerti, bukan aku tapi dia.

Labels:

Wednesday, November 12, 2008

confused

aku mengamit lengannya dan dia berikan pundaknya untukku.

Thursday, November 09, 2006

cinta oh cinta....

Saat nyanyi cinta kembali mendayu, aku langsung tau siapa yang akan kutuju. Ya, kamu itu. Lelaki gagah yang pernah tertangkap basah saat mencuri pandang tuk memandangku, lelaki tampan yang pernah menuntunku meniti undakan dan membuatku merasa malam itu kita pasangan yang sangat serasi, lelaki tampan yang selalu punya mimic bodoh tuk menghiburku, oh pujaanku….

Menatap indahnya senyummu, wajah bingungmu, mencium aroma tubuhmu…”OH tidakkkkk…aku bisa makin gila!” tak ada satu pun di dunia ini yang sanggup membendung rasa ini.

Bukan kenangan

Dan apakah arti kebersamaan bila kelak kita pun harus berpisah. Menapaki lagi jalanan yang penuh liku. Sekilas aku kembali mengingatmu dan kenangan pun merayapi benakku.

Lalu apakah arti kini esok dan kemarin? Bila perjalanan waktu tak pernah sama. Apa yang menandakan kini, esok, atau kemarin? Lalu buat apa bila harus ada kemarin bila kini tak lagi sama? Aku tak butuh kenangan. Kenangan tak akan mampu membuatku hidup kembali.

Sejenak merenungkan untaian detik yang terjadi hari ini. Menyeretku kembali pada masa itu. Tempat yang menyenangkan tuk berbagi bersama. Namun, kali ini aku tak lagi bersama. Menjelma bagai mahluk asing tak berupa. Tak ada yang mengenal wajahku, juga namaku. Semua hampa belaka, terkikis kejamnya waktu. Dan aku bukan siapa-siapa.

Mengais kenangan yang membuatku semakin terluka. Tercabik hingga tak bernyawa. Menorehkan tajamnya pisau kehidupan.

Apa? Untuk apa ada penanggalan, penomoran yang tak bakal membuat waktu kembali menjadi sama. Pun saat kita kanak-kanak, belajar menamai hari. Buat apa? Buat apa harus diberi nama bila waktunya tak pernah sama? Namai saja harimu, dan kau pun tak akan pernah menemukan waktu yang sama.

Aku tak butuh kenangan, aku mau kenyataan.

cinta oH cinta

Dan seribu rasa malu yang selalu timbul di hati ini, saat diam-diam aku mengorek ingatanku kembali padamu. Menguapkan sedikit-demi sedikit rasa bahagia yang menjalar seketika aku mengingat senyumanmu.

Indah…indah…indah…sekaliiiiy! Tak peduli sekecil apa pun itu meski menatapmu dari ribuan mil jauhnya, asal bisa melihat senyuman itu dunia kecilku kan bersorak bahagia. Norak, ya memang sedikit norak, bahkan mungkin aku lebih norak dari cerita sinetron yang biasa ditonton ibuku. Aku bahagia, ya kuulangi lagi a k u b a h a g i a!

Tak peduli ada ratusan kerikil menancap di telapak kakiku, atau ribuan tatapan sinis menyalahkan yang kalian berikan aku tetap melangkah dengan bahagia. Bila saat itu ada ratusan belati dan tombak yang menancap di uluhatiku, aku pun akan mati dengan bahagia.

Aku memang tak punya rasa cinta yang mesra dan kasih sayang seputih awan. Aku juga tak punya ribuan mimpi indah untukmu yang kugantungkan di langit, apalagi sebuah pusisi dan lagu cinta yang mampu menguak semua rasa rindu dan cintaku buat kamu.

Aku tak akan berani meminta Aphrodite tuk mengirimkan eros dan menembakkan panah cintaku kepadamu. Aku punya begitu banyak cinta, bahkan lebih banyak dari rasa cinta yang sanggup dipanahkan eros ke jantungmu. Aku pun punya seribu lagu cinta bahkan jauh lebih banyak dari lagu yang pernah dimainkan Orpheous untuk Eridike.

Ada begitu banyak nada indah yang kan tercipta saat kau bersamaku, ada begitu banyak kata yang mampu kurangkaikan buatmu. Bahkan Tuhan pun tahu betapa semua kenangan indah itu selalu mampu membuatku tertawa dalam tangisku.

denting itu...

Dan detingan itu serupa dengan denyut jantungku. Berdegup sangat cepat, menghilangkan semua irama dalam setiap lagu.


tanpa irama. Bahkan, hembusan angin pun membuatku larut. Mengehampaskanku pada mimpi-mimpi indah yang kusendiri tak berani mewujudkannya.

Indah….sangat indah….

Monday, October 09, 2006

Sepenggal lagu lama yang sajaknya tiba-tiba terbesit di benakku. “DIA ada di mana-mana. DIA ada di dalam jiwa.”

Sedetik lalu kehampaan menyerangku saat Ibu bercerita dengan haru tentang kesuksesan sorang teman kecilku. Menorehkan setitik rasa iri yang membuat darahku berdesir. Membuatku kembali melangkan pikiran kepada teman-temanku, semuanya sukses. Paling apes juga mereka berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negri melanjutkan studinya. Lebih dalam lagi aku mengingat orang-orang yang pernah kukenal, mereka telah menjelma menjadi orang-orang yang sukses.

Lalu aku? Tak lebih dari seorang manusia yang tak berguna. Mengais, mencoba menatap matahari yang tak pernah berani benar-benar kutatap.

Where is it?

Setelah kita saling berkirim email tadi siang, rasanya aku kangen banget sama kamu. Kangen sama celotehmu, ekspresi bodohmu, guyonanmu, pokoknya semuanya deh yang punya kamu. Meski logikaku sudah mencoba melarangku untuk datang kembali ke bagian memoriku saat bersamamu, tapi rasanya batin ini jadi tenang kalo lagi ingat kamu.

Aku tahu kalo untuk jalan bareng kamu itu nggak mungkin. Lha wong jatuh cinta sama kamu aja uah salah kok, apalagi mau sayang-sayangan berdua. Tapi sumpah aku kangen. Seperti kata yang selalu kutulis saat mengakhiri e-mailku “I Miss you Sooo….” Itu beneran lho, sungguh deh aku sangat-sangat kangen sama kamu. Meski sebagian akal sehatku merasa malu menuliskan kata-kata itu, tapi sebagian lagi cuek bebek lantaran gak sanggup lagi menyimpan rasa kangen ini. Lagi pula kaku yakin banget kalo kamu gak bakalan mikir apa-apa tentang kalimat “I miss you sooo….”, itu. Bukankah kita teman, wajar kan kalo teman saling rindu. *Hehehehe…itu sih cuma justifikasi aku aja tentang kamu, meskipun aku berharap kamu nggak nyadar akan hal itu.

Seandainya cinta itu bisa diatur dengan logika, pastinya gak ada orang yang stresss gara-gara suka sama orang yang salah.

Duh sampai saat ini aku masih mencari-cari kemana perginya logika yang kupunya itu?

Interval, selalu saja ada jeda.

Sebagian orang merasa jeda adalah pengganggu yang menyebalkan. Bayangkan saja ketika menyaksikan sebuah pertandingan sepak bola yang seru harus diselingi dengan iklan. Atau Anda sedang menyaksikan pertandingan seru moto GP atau F1 dan harus diselingi dengan jeda. Pastilah akan sangat menyebalkan, beberapa peristiwa penting dapat saja terjadi saat jeda.

Seorang perempuan muda, entah di belahan bumi sebelah mana menuliskan permintaan kepada Tuhan. Isi surat itu adalah: Its like that I have doomed, then problems be my middle name. No matter how hard I will try, everything goes wrong. Dear God, what have I done? I know I deserved to have all this problems. Therefore, would you please give me sometimes, even just to take a break? Please God I do need a break. even it almost injury time but I need a break..

Ternyata jeda memang penting, hanya saja penempatan waktunya yang kurang tepat. Seandainya semua fit on position, pasti kita tak menyadari betapa pentingnya jeda.

Brand New Journey

Berharap kan mendapatkan tempat yang lebih baik aku bangun dengan energi yang over loaded. Saking penuhnya, aku sampai tak bersemangat untuk makan sahur dan nekad berangkat saat pagi buta.

Pukul 05.00 saat sebagian orang baru saja selesai dengan sholat subuhnya atau sebagian lagi masih lelap dalam bangunan selimutnya setelah makan sahur tadi, aku berangkat meninggalkan rumah.

Meski dengan sedikit bersungut dan manyun aku berangkat. Diiringi doa dan restu dari kedua orang tuaku yang menatapku dengan wajah haru aku meninggalkan rumah.

“Broom…”, adikku menyetarter motor. Setelah merasa lengkap semuanya aku memantapkan langkahku menuju halaman depan.
“Assalamualakum ma, pa”, seruku.
“Waalaikum salam, Nduk hati-hati ya”, seru ayah dan ibuku.
“Nanti kalo naik bus, boleh tidur tapi jangan lupa tasnya harus dijaga”, ibuku menambahkan.
“Beres, berangkat dulu.”
“Ma, pa aku nganter Mbak dulu ya,” seru adikku dengan wajah lelah yang masih mengantuk.
“Hati-hati, nak. Jangan ngebut,” ayahku mengingatkan.

“Broom…” kami pun meluncur. Di perjalanan adikku masih saja bertanya mau diantar sampai mana. Sepertinya dia tak rela melepaskanku sendirian di jalan raya. Tapi aku tetap pada pendirianku.
“Turun di sini aja deh”, sahutku mantap.
“Sepi di sini, di sana aja.”

Saking super semangatnya, aku pun rela duduk setengah pantat sambil berdesak-desakan di angkot. Seandainya aku mau sedikit bersabar, pasti aku tak akan seperti ini. Tapi dengan semangat yang full loaded ini aku yakin mampu melalui apa pun. Ini hari pertamaku bekerja dan aku mau semua sempurna.

Waktu menunjukkan pulul 07.45 pagi. Aku sudah hamper tiba. Kuraih tasku dan sambil sedikit bersembunyi kuketik sms tuk seorang teman. “Heylow this is my first day. Wish can see u there.”

Tak lama kemudian sms balasan pun tiba. “Great, can’t wait to see u soon. I am happy to have u here, work with u again.” Aku tersenyum membaca isi pesan itu.

“Kiri bang”, seruku minta berhenti.

Pukul 08.00 “Yes! Masih banyak waktu!” sorakku dalam hati. Benar saja sampai di sana suasana masih sangat sepi. Hanya satpam dan beberapa office boy yang menjaga di depan. Aku masuk ke dalam, langsung menuju kamar mandi. Membersihkan wajahku dan membubuhkan sedikit make up di wajahku. Selama ini aku jarang memakai make up, tapi karena ini tuntutan pekerjaan aku berusaha untuk tampil sebaik mungkin. Aku duduk bengong di depan meja resepsionis. Sampai satu persatu berdatangan, termasuk si empunya meja. Aku meminta bantuan resepsionis tuk menghubungi Hrd yang menghubungiku kemarin. Ternyata dia belum datang. Aku menunggu lagi.

Beberapa menit kemudian, aku kembali memnita si resepsionis tuk menghubungi kembali si Hrd. Kemudian dia menyerahkan gagang telepon ke padaku, lalu tersengar suara “Lho, memang saya sudah menyuruh Mbak untuk datang pagi ini ya? Kok saya tidak merasa ya?”

Sunday, September 10, 2006

Mamaku pernah bilang, "Semua hal itu kan pasti ada sisi positifnya, jadi jangan pernah merasa kecil hati. Pasti deh akan ada hal baik yang bisa kamu petik dari masalah ini."

Ternyata membuka hati tuk memberi jalan pada sinar matahari memang lebih menyenangkan. Tak hanya kehangatan, tetapi juga kelegaan hati dan pikiran yang postif. Yah, setidaknya semua kemarahan itu lumer seketika.

Menduga-duga memang tak lebih baik dari menuju pada masalah. Menyimpan semua prasangka tak kan mampu menyelesaikan masalah. Semua hanya akan memperburuknya saja

Wednesday, September 06, 2006

Sepi

Saat kesepian menghampiri dan semua sahabat beranjak menjauh. Aku kembali pada malam. Bahkan kekasih yang bersumpah setia sehidup semati pun tak mampu mengisi kekosongan hati. Aku hancur remuk. Tak ada yang mau menepati janji. Saat kesedihan mendekati aku hanya punya sepi dan sendiri. Melawan semua kegalauan hati dengan sepi. Sepi bagai mati.

Esok aku tak mau mati. Meski harus berteman sepi aku tetap tak mau mati. Biar kubunuh semua rasa sepi meski aku harus lelah menanti. Saat ini mungkin kau sedang menari. Menari dalam mimpi. Menertawaiku dalam menunggu mati.

Ah, biar saja.

Mati di sini tak harus mati di sana. Kehilangan kekasih saja aku tak harus mati. Apalagi Cuma kamu pengacau hati.

Hari ini mungkin sepi. Esok tak akan lagi. Karena aku belum mati. Aku masih punya mimpi.Walau hanya tuk melawan sepi. Bila bukan nanti, mungkin esok lagi. Yang pasti aku belum mati.

Malam

Dan malam cepatlah menjadi kelam. Biarkan aku lelap dan tenggelam dalam mimpiku.
Berlari, menari, tertawa bersamamu. Aku rindu.

Sumpah aku rindu kamu. Persetan dengan mereka. Aku rindu. Aku mau tertawa dan berjalan bersamamu menapaki senja bersama. Kita akan berkejaran dengan waktu dan mata dengan pandangan yang akan bertanya, “Ada apakah di antara kita?” Lalu aku akan tertawa mendengar leluconmu, tak peduli itu lucu atau garing aku tetap akan tertawa. Tertawa sekeras aku bisa. Biar saja orang piker aku gila yang penting aku bahagia. Bahagia karena aku bersamamu. Bahagia karena aku memang bahagia.

Entah mengapa saat bersamamu kudapati diriku lebih banyak tertawa, bahkan untuk hal yang mungkin untuk orang lain dianggap tidak lucu. Aku menikmatinya.

Merindukanmu Lagi

Merindukanmu lagi. Meski ku tau penantianku tak akan pernah bertitik. Aku tetap saja merindukanmu. Melukiskan wajahmu dalam dinding-dinding kamarku atau menuliskan namamu dalam coretan buku diaryku, sambil sesekali menyenandungkan namamu dalam laguku. Aku merindukanmu.

Meski jutaankali aku mencoba menepis perasaan itu, jutaan kali pula aku gagal. Selalu saja kamu. Tak mengerti mengapa harus kamu?

Malam ini aku kembali mencari bayangmu. Meniti semua ruang barangkali ada bayangmu yang terlewat. Mengapa mengenangmu selalu saja indah? Padahal aku tahu, percuma saja menyeret bayangmu kembali karena kau tak akan pernah kembali untukku.